Kebudayaan zaman batu





Seperti yang telah disebutkan pada materi sebelumnya bahwa zaman batu berdasarkan hasil temuan alat-alatnya dan dari cara pengerjaannya, maka zaman batu tersebut terbagi menjadi 3 yaitu zaman batu tua atau kebudayaan Palaeolithikum (Palaeo = tua, Lithos = batu), zaman batu madya atau kebudayaan Mesolithikum (Meso = tengah) dan zaman batu muda atau kebudayaan Neolithikum (Neo = baru).
  1. Kebudayaan Palaeolithikum/Batu tua.
Hasil kebudayaan Palaeolithikum banyak ditemukan di daerah Pacitan (Jawa Timur) dan Ngandong (Jawa Timur). Untuk itu para arkeolog sepakat untuk membedakan temuan benda-benda prasejarah di kedua tempat tersebut yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.

   
Gambar. Alat Pacitan dari berbagai sisi
Gambar ini merupakan peninggalan zaman Palaeolithikum yang ditemukan pertama kali oleh Von Koenigswald tahun 1935 di Pacitan dan diberi nama dengan kapak genggam, karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam.
Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper artinya alat penetak.
Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam.
Pada awal penemuannya semua kapak genggam ditemukan di permukaan bumi, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti berasal dari lapisan mana.
Berdasarkan penelitian yang intensif yang dilakukan sejak awal tahun 1990, dan diperkuat dengan adanya penemuan terbaru tahun 2000 melalui hasil ekskavasi yang dilakukan oleh tim peneliti Indonesia-Perancis diwilayah Pegunungan Seribu/Sewu maka dapat dipastikan bahwa kapak genggam/Chopper dipergunakan oleh manusia jenis Homo Erectus.
Daerah penemuan kapak perimbas/kapak genggam selain di Punung (Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain yaitu seperti Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan KaliAnda (Sumatera), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi), Sembiran dan Terunyan (Bali).
Untuk lebih memahami lokasi penyebaran kapak perimbas maka pahamilah pada gambar peta kepulauan Indonesia berikut ini.
 
Gambar. Peta penyebaran kebudayaan Palaeolithikum.
Di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkap ikan.

Gambar. Alat-alat tukang dan tanduk rusa dari Ngandong
Selain alat-alat dari tulang yang termasuk kebudayaan Ngandong, juga ditemukan alat alat lain berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon.

Gambar. Flakes dari Sangiran
Flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya seperti pisau pada masa sekarang. Selain ditemukan di Sangiran flakes ditemukan di daerah-daerah lain seperti Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong (Jawa), Lahat (Sumatera), Batturing (Sumbawa), Cabbenge (Sulawesi), Wangka, Soa, Mangeruda (Flores).
            Walaupun alat-alat Ngandong ditemukan dipermukaan tanah tetapi melalui penelitian dapat ditentukan bahwa alat-alat tersebut berasal dari pleistocen atas/lapisan Ngandong.

2.         Kebudayaan Mesolithikum
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum yang sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.

Gambar. Pebble/Kapak Sumatera.
Bentuk pebble seperti yang Anda lihat pada gambar 5 dapat dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak halus. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam.
Di samping kapak-kapak yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah, bahan cat merah yang dihaluskan berasal dari tanah merah.
Mengenai fungsi dari pemakaian cat merah tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan bahwa cat merah dipergunakan untuk keperluan keagamaan atau untuk ilmu sihir.
Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulang-tulang tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens.     

Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.
Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture/kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.
Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM.
Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa zaman Mesolithikum sesungguhnya memiliki 3 corak kebudayaan yang terdiri dari:
a. Kebudayaan pebble/pebble culture di Sumatera Timur.
b. Kebudayaan tulang/bone culture di Sampung Ponorogo.
c. Kebudayaan flakes/flakes culture di Toala, Timor dan Rote.  
        
                                                               Tabel. Kebudayaan Mesolithikum
            Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Philipina.
Berdasarkan uraian materi di atas dapatlah disimpulkan:
ü  Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat.
ü  Kebudayaan flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur.
Untuk lebih memahami penyebaran kebudayaan Mesolithikum ke Indonesia, maka simaklah gambar 7 peta penyebaran kebudayaan tersebut ke Indonesia.


Gambar. Peta jalur penyebaran kebudayaan Mesolithikum.
Dari uraian materi yang telah disajikan, maka tentu ada perbanding penyebaran kebudayaan Mesolithikum lebih banyak dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan Palaeolithikum. Dengan demikian masyarakat prasejarah selalu mengalami perkembangan. Pergantian zaman dari Mesolithikum ke zaman Neolithikum membuktikan bahwa kebudayaannya mengalami perkembangan dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks.
3.         Kebudayaan Neolithikum.
Hasil kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolithikum ini adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong.

Gambar. Peninggalan zaman Neolithikum
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium.
Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran.

Gambar. Kapak Chalcedon.
Daerah asal kapak persegi adalah daratan Asia masuk ke Indonesia melalui jalur barat dan daerah penyebarannya di Indonesia adalah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Walaupun kapak persegi berasal dari daratan Asia, tetapi di Indonesia banyak ditemukan pabrik/tempat pembuatan kapak tersebut yaitu di Lahat (Sumatera Selatan), Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan serta lereng selatan gunung Ijen (Jawa Timur). Pada waktu yang hampir bersamaan dengan penyebaran kapak persegi, di Indonesia Timur juga tersebar sejenis kapak yang penampang melintangnya berbentuk lonjong sehingga disebut kapak lonjong.

Gambar. Kapak Lonjong.
Dengan adanya gambar kapak lonjong seperti pada gambar diatas, bagaimana menurut pendapat Anda bentuk keseluruhan dari kapak lonjong tersebut?
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua. 

Tabel Hasil Kebudayaan Neolithikum dan Penyebarannya.
Pada jaman Neolithikum selain berkembang kapak persegi dan kapak lonjong juga terdapat barang-barang yang lain seperti perhiasan, gerabah dan pakaian. Perhiasan yang banyak ditemukan umumnya terbuat dari batu, baik batu biasa maupun batu berwarna/batu permata atau juga terbuat dari kulit kerang.
Selain perhiasan, gerabah juga baru dikenal pada zaman Neolithikum, dan teknik pembuatannya masih sangat sederhana, karena hanya menggunakan tangan tanpa bantuan roda pemutar seperti sekarang. Sedangkan pakaian yang dikenal oleh masyarakat pada zaman Neolithikum dapat diketahui melalui suatu kesimpulan penemuan alat pemukul kayu di daerah Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Hal ini berarti pakaian yang dikenal pada zaman Neolithikum berasal dari kulit kayu. Dan kesimpulan tersebut diperkuat dengan adanya pakaian suku dayak dan suku Toraja, yang terbuat dari kulit kayu.
Dengan adanya contoh-contoh kebudayaan Neolithikum, maka untuk memudahkan Anda memahami keseluruhan dari kebudayaan zaman batu. Simaklah tabel berikut ini

Tabel  Ikhtisar Kebudayaan Zaman Batu